Percaya: satu kata yang sangat mudah diucapkan, tapi justru sangat sulit dilaksanakan. Biarkanlah orang mengatakan aku paham kiri ketika membaca blog ini.
Aku mungkin seorang pemikir etek yang selalu mempertanyakan, mengapa begini? Mengapa begitu? Apakah emang selalu begini? Tiadakah cara lain yang lebih legowo? Atau aku selalu mempertanyakan, hukum alam itu benarkah ada?
Sejak kecil, mungkin aku tidak biasa dibandingkan anak-anak lainnya. Ketika anak yang lain sedang sibuk memikirkan berapa anak gundu yang mereka dapatkan hari ini? Atau, berapa kali mereka jatuh saat mengejar layangan? Aku yang selalu berpikir, siapakah mereka yang ada dihadapanku ini? Manusia? Apa itu manusia?
Tidaklah terlalu heran bagiku, ketika pertama kali aku masuk organisasi (masa SMP), aku ditanyai oleh senior yang aku anggap lebih hebat dariku karena mengikuti orang-orang sebelumnya (follower kelas kakap), "Siapakah aku?" Aku yang nggak polos-polos amat hanya menyeringis dan berkata, "Itu yang aku cari sejak dulu, Bang!"
Aku tidak dibesarkan oleh keluarga yang dominan mempelajari filsafat, bahkan baru beberapa hari ini aku mengenal, ternyata cara berpikir sebab akibat yang aku lakukan sebagian besar masa hidupku ini namanya filsafat. Mungkin, kalau aku menyadarinya sejak awal, aku akan mengambil jurusan filsafat di salah satu perguruan tinggi murahan di Indonesia (karena aku yakin banget, orang tuaku tidak akan mau membayarkan kuliahku untuk ilmu abstrak yang tidak jelas pekerjaannya). Tapi bukan berarti aku berhenti berpikir hal-hal aneh yang menurut orang plegmatis nggak penting!
Salah satu pertanyaan yang aku nggak habis pikir hingga saat ini adalah, "Kenapa aku bisa berpikir?" Mungkinkah dimensi lain itu adalah pikiran? Kenapa bisa-bisanya berpikir itu adalah dimensi? Kalau setiap orang ada otak untuk berpikir, berapa banyak dimensi yang tercipta di muka bumi ini? Aku ini dimensi yang keberapa? Kenapa dimensiku di alam pikiran untuk memikirkan hal yang membuatku berpikir?
Rumit bukan? Ya, aku pun tidak berminat untuk membaca kembali blog ini.Aku selalu merenung, apa jadinya ketika aku hanya menjadi seorang plegmatis yang hanya mengikuti arus yang ditentukan oleh alam? Seperti kebanyakan orang lainnya. Kenapa aku harus mengikuti jalan hidup yang sebenarnya melanjutkan cara berpikir orang banyak.
Pernahkah kalian berpikir, ada cara membuat planet lain, atau bahkan dunia lain yang ternyata dengan denah pengetahuan yang diceritakan oleh orang saat ini ada yang keliru. Apa yang terjadi ketika penemu ilmu hitung dari jazirah arab tidak berhasil menemukan angka 0-9? Mungkin akan tercipta ilmu lain yang ternyata ketika diturunkan akan menghasilkan penemuan yang jauh lebih menakjubkan. Aku selalu berpikir, kenapa profesor-profesor ini (sebagian) sangat bangga dengan ilmunya? Tidakkah mereka melanjutkan hasil dari apa yang dipikirkan oleh orang terdahulu?
Aku selalu berpikir, Aku ini sudah menjadi korban orang masa lalu. Bumi ini. Alam ini. Ilmu ini. Waktu ini. Kepercayaan ini. Bahkan semua yang menciptakan kondisi aku sampai sedemikian rupa hingga di saat ini. Aku mencoba untuk mempercayai takdir, abstrak men! Aku bahkan terkadang dulu tidak percaya Tuhan itu ada, ada missing link yang selalu menutupi segala identitas prakarsa takdir itu. Entah karena imanku yang saat itu sedang soak, atau seperti apa. Tapi itu real, dan aku tidak malu mengatakannya, bahkan bangga, setidaknya aku berpikir, kenapa aku harus mempercayai Tuhan. Bukan karena doktrin belaka, apalagi tuntutan keluarga.
Terkadang aku berpikir, kenapa aku memikirkan hal ini? Tidak pernah ada jawaban, yang aku tangkap adalah aku selalu mempertanyakan segala hal. Perkara waktu, perasaan, akal, dan alam ghoib. Setiap desahan napasku saat ini, ternyata lepas pergi. Kemanakah aku bisa menghirupnya lagi? Oksigen yang sama persis! Pernahkah kalian berpikir akan hal itu? Atau kalian hanya tahu, bernapas adalah proses menghirup oksigen dan memasukkannya kedalam paru-paru sebagai bahan baku pembakaran dalam metabolisme tubuh yang nantinya akan dikeluarkan dalam bentuk karbondioksida dan uap air. Sorry, guys, ternyata kaca matamu sempit sekali.
Entah ini kutukan atau apa, aku memang selalu berpikir yang sebagian besar orang berkata, Nggak penting. Makanya, enggak banyak orang yang menyukai cara berpikirku, kalau aku hitung-hitung, selama hidupku, aku hanya bisa menemukan sebanyaknya 2 orang yang memiliki cara berpikir yang sama denganku.
"Oh, men, bullshit banget sih lw! Emang lw siapa?" selalu ada yang mengatakan itu kepadaku. Sedih, pasti. Tapi sebenarnya aku lebih sedih lagi melihat mereka yang tergerus oleh roda-roda zaman. Titipan titipan kotoran orang-orang lama yang kini telah menjadi tulang belulang, bahkan mungkin telah menjadi minyak bumi (kalau memang teori pembentukan minyak itu dari fosil adalah benar).
Ada dampak kah dengan cara berpikir seperti ini? Jelas. Jelas banget. Aku paling nggak mau diatur oleh orang lain, kecuali untuk hal-hal yang aku yakini. Bukan berarti aku melanggar peraturan, karena untuk beberapa chase, aku sangat meyakini peraturan itu adalah bermanfaat.
Inikah yang dinamakan
Strict? Tidak, aku hanya seorang yang berpikir. Pun ketika aku anggap ilmu adalah benar, aku memaknainya, bukan menjadikannya sebagai jembatan keledai (Tan Malaka). Tapi, yah... Akan sulit mendapatkan teman jika dominan menggunakan gaya berpikir ini, karena mereka menganggapnya
strict. Jadi, jangan heran ketika menemui orang-orang yang sperti ini biasanya seperti memiliki 2 kepribadian (bukan lelaki yang menyerupai wanita atau sebaliknya). Terkadang sperti orang yang berbeda saja, itu tandanya ia sedang memikirkan hal yang mungkin tidak dipikirkan oleh orang-orang disekitarnya.
Entahlah, gaya berpikir seperti ini untuk apa nantinya. Sayangnya, aku bukanlah mahasiswa filsafat yang paham betul apa fungsi gaya berpikir ini. Jika pun ada yang melenceng, Al-qur'an adalah petunjuk yang aku percaya. Oh ya, aku juga berpikir, apakah benar Al-qur'an saat ini adalah benar-benar memuat firman-firman Tuhan? Aku biasanya selalu mempertanyakan itu. Satu-satunya yang membuatku percaya dulu, adalah bahwa
basic setiap ilmu yang ditemukan adalah dari Al-qur'an. Namun, kembali lagi, aku tidak percaya dengan penemuan-penemuan manusia. Bukankah di dalam Al-qur'an juga dijelaskan, bahwa
Ilmu manusia adalah hanya semata-mata terkaan ilmu Allah. Kemungkinan kesalahannya sangat besar kawan! Bahkan ilmu hitung anak SD, aku tidak percaya! Kalau begitu, apa dong? Wallahu'alam, aku juga jadi plegmatis karenanya. Ngikuuuut aja.
Tadi pagi ada kata yang paling keren seumur hidupku, "Al-Qur'an itu tidak semata hanya untuk dikaji, tapi untuk dipatuhi! Karena ia adalah perintah, selayaknya Jendral yang memerintahkan kepada para kopralnya!" Ini kali kesekiannya aku menangis karena Al-qur'an, selain karena memasuki masjid dan mendirikan shalat malam. Ah, aku pikir betapa indahnya Islam ini. Tapi, justru itu aku kembali berpikir, kenapa harus Islam? Untuk hal-hal yang seperti ini, biasanya aku ceroboh. Jika pun ini karena doktrin, aku masih punya hati untuk mengingat, ternyata memang Al-qur'an yang bisa menjawabnya. Sempurna sudah, untuk hal agama (jika aku tidak khilaf) aku selalu no comment, akal pikiranku selalu dijawab dengan legowo oleh Al-Qur'an.
Maaf, aku terkadang berpikir sekuler karena menurutku tidak salah-salah amat jika masih dalam koridor yang benar, toh, mau itu liberal, sekuler, kapitalis, otoriter, plural, khilafah, sosialis, komunis, atau ideologi lainnya nggak ada yang sempurna. Ini hanya alat, boy! Hanya saja, tujuannya yang harus benar. Ok, kembali lagi kepada sekuler, artinya, aku selalu mengenyampingkan dahulu Al-qur'an untuk berpikir sejenak. Kalau nggak dapat titik temu, baru nanya-nanya deh sama yang paham Al-Qur'an. Tapi untuk
chase-chase yang tertentu, justru aku diacuhkan bahkan dianggap aneh. "Ngapain nanya yang nggak penting?" dan aku cuma bisa menghela napas.
Freak man, jelas! Tapi aku sangat menikmati hal ini sebagai seorang pemikir etek, setidaknya aku merasa hebat (bukan paling hebat). Karena aku mensyukuri anugerah yang Tuhan berikan kepadaku, "Bukankah Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir untuk apa semua ini diciptakan?"
Ayolah kawan, jangan mau hanya berjalan di
jembatan kedelai.
WAW...
BalasHapuscara orang berfikir emang beda,, mungkin itu gunanya kita harus kenal teman kita sendri. jadi bisa saling menghargai org lain. ya gak. gw juga berfikir kalau ngomong sama org akan lebih nyambung sama yg punya jalan fikiran sama. tapi sampai sekarang gw belum nemuin. lu udah dua. masih mendingan elu, ahhaa (komen gw nyambung gak ya?? bodo ahh, yang penting eksis)
satu pikiran, tapi nggak komunikasian mah sama aja bohong, Fik. Bisa ngehadirin tokoh imajinasi ga kayak gw? hihihi
BalasHapusngehadirin tokoh kayak elu? gak yakin deh. org tokoh yg kayak gw aja kyknya gak ada , ahhaa. tapi kalau gw, menghadapinya ya dengan mengenal org lain itu gimana, dia sukanya apa, dia gak suka ama apa, kalau gini, gitu, dll. pasti ada timbal balik juga kan dari org2 tersebut. nah ntar kan keliatan tuh org yg click sama kita dan yang enggak. jadi kemungkinan ketemu org yg sama persis kita itu susah. tapi gak jarang juga. jadi ya teruskan lah apa yang menurutmu benar , tinggal lihat siapa yang suka atau enggak.
BalasHapusOh, God. Sejak kapan lw wise? hahaha
BalasHapushey helloooww,,, selain alay gw kan juga bijaksana... :P
BalasHapus