Namaku Horizon. Seharusnya aku mengenalkannya terlebih
dahulu. Namanya Lintang. Sering kupanggil Timmy, karena nama panjangnya
Lintang Timur. Timmy paling tidak suka jika kulihat ke arah matanya. “Aku tak
sanggup mentrasfer perasaanku melalui matamu,” lirihnya selalu. Timmy pernah
membelikanku sebuah lipstik. Dan aku hanya membalasnya dengan tawa sambil
mengacak-acak rambutnya yang lebih sering basah.
Sudah berapa kali kukatakan kepadanya bahwa aku
memiliki perasaan yang tidak biasa. Berkali itu pun ia mendengarnya. Berkali
itu pula ia percaya kepadaku. Berkali itu pula ia membuatku terluka. Dan itulah
yang membawaku disini. Di tanah ini. Di ujung kawah ini. Di bawah langit yang
tidak lagi cerah. Ia sudah mulai mendung. Dan mentari sudah lari sejak malam
mencarinya.
“Horizon!”
Ia menghentikan sisa tiga langkah kakiku. Yang berarti
menunda kematianku. Tidak seperti kitab-kitab roman yang pernah kubaca, kubalikkan
badanku dengan senyum lebar di wajah. “Ah, syukurlah,” ia mencoba untuk memelukku.
Aku berjalan satu langkah kebelakang. Artinya sisa dua langkah dari kematianku.
“Tidakkah kamu gila, disini berbahaya. Menjauhlah,” kataku.
Mohon jangan bingung membaca cerita ini. Karena, antara yang dalam kondisi genting dan yang mengatakan bahaya, semuanya absurd. Itu tidak lain
karena Aku, Horizon, tidak ingin Timmy dalam keadaan bahaya. Ia melempariku
dengan pandangan heran. Aku membalasnya dengan tatapan kosong.
“Disini bahaya. Tidak kah kamu mempercayaiku?” Aku setengah berteriak. Semua kulakukan agar ia
mendengar. Udara disini sudah mulai menipis. Aku khawatir angin akan menyapu
kata-kataku. Timmy justru semakin mendekat. Aku melangkah mundur. Artinya
nyawaku tinggal satu langkah.
“Aku hanya ingin tahu.”
“Sudah kujelaskan berkali-kali, namun kamu tidak
percaya.”
“Ya, aku tidak akan pernah percaya sampai aku
benar-benar puas. Dan aku yakin seyakin-yakinnya.”
“Begitukah kamu dulu dengannya?” aku merapatkan kedua
kakiku. Kulihat raut wajah Timmy yang berubah. “Aku mempercayaimu setengah
mati, Timmy. Pun ketika kamu bohong, aku percaya.”
“Kemarilah, Horizon,” ia membujukku.
“Kawah ini adalah saksi dimana masa lalu itu sangat
dekat, Timmy.”
“Bagaimana mungkin?”
“Jika aku melompat, kau percaya, aku akan bisa mengubah
semua masa laluku.” Suara petir tiba-tiba meresahkannya. Langit semakin
mendung. Bau-bau hujan akan segera membasahi. Dan kami masih di sini, di ujung
kawah. “Benarkah itu?”
Aku mengangguk pelan. Tak kusapu juga air mataku yang
mulai mencair di ujung mata. “Selamat tinggal, Timmy.”
“Horizon, Tunggu!”
Aku tidak bergeming.
“Bahkan jika masa laluku ada di kawah ini, apakah kamu
mau aku masuk ke dalamnya?”
“Tidak kah itu berbahaya?”
“Aku akan menghapus semua masa laluku,” aku terdiam
sebentar untuk menatap matanya sekali lagi, “bersama hilangnya aku.”
Kini Timmy yang terdiam. “Aku mencintaimu, Horizon.”
“Aku tau.”
“Kau tetap ingin pergi meninggalkanku?”
“Masa laluku begitu menyiksamu. Aku akan menghapus
semuanya.”
“Bagaimana denganku setelah itu?” Timmy menyentuh
tanah dengan lututnya kemudian menggenggam tangannya sendiri sambil menahan
tangisnya. Aku tak sanggup dengan keadaan ini. Apa yang harus aku lakukan?
Satu langkah di belakangku adalah kawah. Tiga langkah
di depanku adalah Timmy yang sedang berlutut. Dan aku. Apa yang harus
kulakukan?
"Aku mencintaimu, Timmy. Menikahlah denganku."
0 komentar:
Posting Komentar