Oleh: Aldian Farabi*
Bagi masyarakat Indonesia umumnya, bukan masalah jika produk impor merajai pangsa pasar lokal. Sebab, akan menjadi nilai tambah tersendiri jika dapat membeli produk murah meriah, meski tidak seberapa mutunya. Beberapa produk asing yang merebak di pasaran seperti sandal, mainan anak, tekstil, alat komunikasi, pakaian, makanan, dan minuman seakan tidak terkontrol. Jelas sudahlah problema pasar bebas yang hangat-hangatnya sejak tahun 2001 silam.
Berbagai upaya pemerintah untuk mengatasi insiden tersebut seperti kehilangan rasa. Hambar. Himbauan penerapan dan peningkatan kualitas produk dalam negeri melalui Standar Nasional Indonesia (SNI) hanya berbekas di kalangan tertentu saja. Indonesia memang pasar yang tepat bagi pengusaha asing untuk melancarkan perdagangan produk “sampah”-nya. Sebab, sebagian besar konsumen Indonesia tiada peduli dengan kualitas. Murahnya harga adalah standar utama yang harus terpenuhi. Ini bukti belum tersejahterakannya masyarakat Indonesia.
Mimpi terbangunnya industri kecil di Indonesia melalui penerapan pasar bebar ACFTA semakin mengawang-ngawang. Kenyataannya, semakin banyak industri kecil yang hilang akibat tergerusnya pasar produk mereka oleh produk China. Hitungan-hitungan harga tidak sesuai dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan, lantaran harga bahan baku semakin mahal. Bahan baku pangan, kimia, pertanian, dan bahan baku industri lainnya semakin hari semakin melangit. Alhasil, dari segi harga saja, produk lokal tidak mungkin bersaing.
Modal menjadi faktor utama yang harus ditindak secara serius oleh pemerintah. Tidak mapannya finansial industri kecil akan semakin mengkerdilkan posisinya di pasar persaingan bebas. Dalam kondisi seperti ini, besar kemungkinan bagi industri-industri tersebut gulung tikar. Imbasnya pada peningkatan angka pengangguran. Sejatinya, hal ini memang merupakan masalah bersama yang harus dientaskan selekas mungkin.
Hingga saat ini, pengusaha-pengusaha Indonesia tiada lelah bersaing antara sesamanya. Cara terbaik meningkatkan produktivitas dalihnya. Padahal, masih banyak hal lain yang lebih urgen dari sekedar memasok keuntungan pribadi perusahaan. Pelaku-pelaku sektor privat nasional ini seakan mulai kehilangan jiwa sosial antara sesamanya.
Dalam suatu surat kabar harian (11/07), Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, pernah mengimbau industri besar untuk membantu industri kecil. “Para pengusaha Indonesia seharusnya tidak saling bersaing. Sebab, musuh utama yang harus dihadapi mereka adalah pengusaha asing,” ungkapnya.
Pengusaha nasional seharusnya mau meluangkan lebih banyak kesempatannya untuk membantu para pelaku industri kecil menengah. Hal ini sejalan dengan usaha pemerintah dalam melakukan pemerataan sektor industri, juga mengembangkan usaha yang lebih besar agar mampu bersaing.
Secara langsung ini akan menguatkan kegiatan perindustrian di dalam negeri yang berujung kepada kesejahteraan masyarakatnya. Jika masyarakat telah mencapai titik kesejahteraannya, maka daya beli masyarakat terhadap suatu produk akan semakin tinggi. Hal ini yang pada akhirnya akan menolak produk asing “abalan” yang jauh dari standar mutu. Saat itu pulalah SNI berjalan seutuhnya.
*Menteri Komunikasi Forum Agroindustri Indonesia (FORAGRIN) 2009-2011.
0 komentar:
Posting Komentar